Mitos Tiwu Mbembu
Pada zaman dahulu kala di lio utara, kabupaten ende
berdirilah sebuah desa, namanya desa Mbotu Mbembu, desa itu bertetangga dengan
desa Keli Koja. Desa Mbotu Mbembu berpenduduk padat, mereka hidup berdampingan,
saling menghargai dan menjunjung tinggi adat istiadat dan peraturan adat yang
berlaku. Desa ini juga punya kepercayaan yang kuat terhadap leluhur, apapun
yang telah di wariskan leluhur mereka’ mengenai larangan – larangan, dan hal yg
di perbolehkan dalam kehidupan adat istiadat, selalu di patuhi oleh
penduduknya. Oleh karena itu mereka hidup teratur, aman, damai dan makmur.
Di tengah lingkungan yang padat itu, hiduplah juga
dua orang lelaki malang yang bernama Gibe dan Nggebha, mereka berdua adalah
penyandang cacat yang tak dapat di sebuhkan lagi. Gibe seorang tuna netra yang
mana kehidupannya bergantung pada keluaraganya, begitupun si Nggebha dia cacat
tak dapat berjalan karena kedua kakinya tidak tumbuh sejak dr dalam kandungan.
Dalam rumah Nggebha, selain keluarga yang selalu membantunya, ada juga ia di
bantu oleh seekor anjing, anjingnya lincah dan periang, makanya diberi nama
wedho yang artinya lincah. Wedho sangat berjasa bagi kehidupan Nggebha, jika
tiada orang di rumah maka wedholah yang setia menolong nggebha. Wedho dan Nggebha
bersahabat akrab, bahkan wedho sudah di anggap sebagai anggota keluarga dalam
rumah Nggebha, Gibe dan Nggebha telah hidup bertetangga semenjak mereka masih
dalam kandungan.
Pada suatu masa, desa Mbotu Mbembu mengadakan pesta
adat, pesta ini di laksanakan sekali setahun. Pada saat seperti ini desa
terlihat sangat sibuk, seluruh penduduk hilir mudik mempersiapkan segala yang
di perlukan dalam pesta itu. Saat itu juga orang - orang tidak berkebun, semua
fokus di rumah adat. Di rumah adat, Hasil bumi di persembahkan, makanan dan
minuman berlimpah ruah, semua orang bebas makan
dan minum apa saja semampunya, selain itu alunan musik dari gendang,
gong dan suling beralun sepanjang hari mengiringi orang menari dan gawi. Pesta
adat seperti ini selalu dirayakan untuk mengucap suykur kepada tuhan atas
rahmat dan rejeki yg berlimpah yang di berikan kepada penduduk desa.
Di pelataran rumah adat semua orang asyik berpesta,
bersenang senang, bersenda gurau sambil menari dan gawi sepuasnya. Pada saat
seperti ini tidak ada satu pun penduduk yang mau ketinggalan kemeriahan pesta
adat, semua orang pasti ikut
berpartisipasi. Namun hal menyenangkan ini ternyata tidak dapat di rasakan oleh
Gibe dan Nggebha. karena keterbatasan mereka, maka mereka hanya bisa tinggal di
rumah saja dan ini tentunya berbeda dengan Semua orang dalam rumah, mereka tidak
satupun yang mau ketinggakan kemeriahan pesta adat itu. Hari sudah gelap, namun
belum ada tanda - tanda ada yang pulang ke rumah, perut Gibe mulai keroncongan
sebab dari pagi tidak ada satu butir beraspun yang masuk ke lambungnya.
Rasa lapar
memaksa gibe untuk turun dari ranjangnya dan berusaha menuju dapur, Gibe yang
dengan segala keterbatasannya berusaha dengan sekuat tenaga mencari periuk dan
beras. Perjuangannya tidak sia - sia, bersiaplah Gibe memasak beras tadi, namun
ada suatu kendala yang membuat Gibe bingung, “bagaiman caranya saya bisa masak,
jika saya tidak punya api?” gumamnya dalam hati. Namun, walaupun Gibe buta
matanya tetapi Gibe tidak buta nalarnya. Gibe teringat pada tetangganya si
Nggebha yang pastinya juga sedang berada di rumah karena tentu saja dengan
kekurangannya itu membuat si Nggebha takan mungkin bisa ikut upacara pesta adat
yang sedang berlangsung di desa itu. Gibe menuju pintu dapur rumahnya dan mulai
memanggil – manggil Nggebha, ‘’Nggebha..... Nggebha..... kau di rumah ka
nggebha..?” Nggebha menyahut dari seberang, “iya.. saya di rumah Gibe... kenapa
kau panggil saya gibe?”, “aduh Nggebha saya lapar na...., orang rumah ni pergi
pesta dari tadi pagi, belum juga pulang – pulang .....” , Nggebha pun menjawab
Gibe, “adue Gibe... saya juga sama, lapar sekali... mereka ni betul betul tidak
ingat kita na.., masa’ tidak ada satupun dari mreka datang bawa nasi buat kita?
Apa pestanya rame sekali ka sampe mereka lupa kita, gibe?” mendengar sahutan
dari Nggeba seperti itu Gibe pun merasa dia punya kesempatan baik tuk
menyampaikan keinginannya tuk meminta korek api pada Nggebha. “ ya sudah
Nggebha, saya ni punya beras, dan saya su mau masak, tapi saat saya mau masak
su ni, cari korek ti ada mau buat api” kau punya korek ka? Saya pinjam dulu ko!
Nggebha menjawab, korek su habis le Nggebha.... saya baru saja kasi nyala
pelita dan hanya tinggal satu itu, kalo saya punya pun, percuma sajaee.. karna
bagaimana caranya saya kasi ke kau? saya sendiri susah bergerak”, Gibe menjawab
dengan suara memelas “wah... sebenarnya gampang sekali untuk bawa korek itu
kesini, tinggal kau suru wedho gigit pi bawa sini to! Tapi kalau su ti ada
begini, mau buat apa lagi? Gibe pun merasa sia - sia sudah perjuangannya ia pun
duduk bersandar saja di daun pintu rumahnya.
Mendengar semangat Gibe menurun, ibalah hati si
Nggebha. Nggebha berusaha berpikir keras,” bagaimana caranya supaya Gibe bisa
dapat api ya?” kata Nggebha dalam hatinya.... lalu tak lama kemudian Nggebha
berteriak “Gibeee.....!!!” Gibe terkejut “ Knapa Nggebha? kau ni bikin saya
kaget naaa”. “Gibe, saya punya ide” kata Nggebha, “apa itu Nggebha? “tanya Gibe, “sabar, kau
tunggu disitue!” teriak Nggebha. Gibe bingung kira – kira ide apa yang
dimaksudkan Nggebha sebenarnya? Lalu di rumah seberang ,Nggebha sedang berusaha
sekuat tenaga meraih sabuk kelapa yang berserakan dekat tempat tidurnya, dan
berhasil!! Nggebha berhasil meraihnya, Nggebha memanggil wedho “ wedho...
wedho... go’ dha dha dha wedho go’ go’”
mendengar suara tuannya memanggil, wedho langsung bergegas mendekati
Nggebha..... lalu nngebha memanggil Gibe. “Gibe. , kau masih disitu ka?” “ia,
bagemana Nggebha, kau su dapat korek lain?” Gibe menjawab dan bertanya bagitu,
dikiranya si Nggebha menemukan korek lain.
Namun suara dari seberang mengatakan hal yang berbeda,” tidak Gibe,
bukan seperti itu, saya mau minta tolong wedho tuk antar api ke kau sekarang,
tolong kau cepat terima di situeee?”
Gibe merasa heran “ bagaimana caranya si wedho bawa apinya kesini?
Mulutnya pasti terbakare kalo dia gigit pelita itu...!”
Mendengar pertanyaan Gibe, Nggebha tersenyum dan
menjawab, “ bukan begitu caranya Gibe, saya su bakar dan salin api dari pelita
ini ke sabuk kelapa dan sabuk kelapa ini saya ikat di ekor wedho, sabuknya
cukup panjang sehingga tidak akan bahayakan
wedho, jadi kalo wedho su tiba situ kau harus cepat2 lepas sabuknya dr
ekor wedho e?” setelah mendengarkan penjelasan Nggebha, Gibe
pun setuju. Nggebha lalu mengikatkan sabuk yang telah membara itu ke ekor wedho
lalu memukul paha wedho dan menyuruh wedho mengantarkan api itu ke rumah Gibe. Setibanya
dirumah Gibe, wedho dengan pintarnya merapatkan dirinya ke Gibe, Gibetidak
melihat apapun namun ia dapat merasakan dengan tangannya setelah berjuang meraba raba tubuh wedho, akhirnya Gibe dapat
menemukan sabuk itu, namun ternyata Gibe menemukan masalah saat hen dak
melepaskan ikatan sabuk kelapa dari ekor wedho. Karena tak dapat dengan segera
melepaskan api di sabuk kelapa dari ekor wedho maka terbakarlah semua sabuk itu
merambat hingga ke ekor wedho. Karena merasa panas berteriaklah wedho sambil
berlari – lari bertusaha melepaskan sabuk dari ekornya.
Wedho yang kepanasan tad,i berlari hingga menuju
tengah desa dan masuk ke pelataran rumah adat. Disana para penduduk desa masih
sedang asyik berpesta mereka makan minum dan bergawi hingga lupa diri. Saat
wedho berlari memasuki tengah pesta semua orang terkejut dan langsung tertawa
terbahak – bahak karena melihat tingkah wedho yang lari terbirit – birit karena
ekornya terbakar “wuahahahahahaeeeeeee”, bahkan ada beberapa ibu ibu yg sedang
duduk berkumpul tertawa dengan kerasnya “wuahahahaeeeeee huuuu”. Penduduk desa
tadi tertawa hingga terpingkal – pingkal. Dan tanpa mereka sadari ternyata
perbuatan mereka itu adalah salah satu larangan keras yang tidak boleh mereka
lakukan di saat pesta adat sedang berlangsung.
Beberapa saat kemudian, tiba tiba di langit tidak
terlihat lagi bulan di sana, seakan – akan lenyap di makan awan yang tebal,
angin mulai bertiup kencang, hujan pun turun dengan derasnya, hali lintar
bersahut-sahutan dan tiba tiba bumi pun berguncang dengan sangat keras, semua
orang sadar kalo mereka sedang di kutuk oleh Yang Maha Kuasa, semua berteriak
“kami latu.... kami latu Ngga’e.... “ artinya kami masih ada tuhan!semua
berteriak sambil menangis meraung ketakutan , suasana itu sangat mencekam dan
mengerikan, terikan minta tolong terus terdengar hingga mengecil suaranya namun
tak ada satupun mahkluk yg datang menolong mereka, semuanya telah terlambat.
Desa bersama isinya terbelah dan hancur luluh lantak oleh gempa dan badai,
hujan pun turun tiada hentinya terus
mengguyur dan menggenangi desa hingga tenggelam, airnya terus meninggi dan
membentuk sebuah danau. Semua orang tidak ada yang selamat satu orang pun
termasuk Gibbe dan Nggebha semuanya tenggelam dan terkubur bersama. Lalu danau
itu akhirnya di beri nama seperti nama desa itu sebelumnya yaitu danau Mbembu.
Sekian dan Terimakasih
Cerita di atas ingin
mengajarkan kepada kita bahwa menjunjung tinggi dan mencintai adat istiadat dan
budaya kita adalah hal yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan di alam
semesta ini dan cinta kita bukan hanya pada sesama manusia saja, namun juga
kepada semua mahluk ciptaan Tuhan yang ada di seluruh bumi ini, agar lestarilah
bumi kita tercinta ini. Terimakasih.